SUNNAH BERSIWAK
Definisi
dari siwak dalam bahasa Arab berarti menggosok, sedangkan menurut arti
syar’i adalah menggosok gigi dan sekitarnya dengan suatu benda yang
kasar (yang bisa menghilangkan kotoran gigi dan sisa makanan).
Adapun keutamaan memakai siwak banyak sekali diutarakan oleh Nabi SAW, diantaranya hadits-hadits Nabi SAW berikut ini:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
“Jika
aku tidak takut memberatkan umatku niscaya aku perintahkan mereka
memakai siwak setiap kali akan melaksanakan sholat. (Hadits Riwayat Imam
Bukhori dan muslim)
السِّوَاكُ مُطَهَّرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ وَمَجْلاَةٌ لِلْبَصَرِ
“Memakai
siwak itu mengharumkan mulut, membuat rela Allah kepada kita dan
membuat terang mata. (Hadits Riwayat Imam Ahmad dan An Nasai)
(رَكْعَتَانِ بِسِوَاكٍ خَيْرٌ مِنْ سَبْعِيْنَ رَكْعَةً بِغَيْرِ سِوَاك” ( رواه أبو نعيم والدرقطني
“Dua
rakaat dilaksanakan dengan memakai siwak lebih baik dari 70 rakaat
tanpa siwak. (Hadits Riwayat Imam Abu Nairn dan Ad Daruqutni)
Para
ulama’ berkata bahwasanya memakai siwak mempunyai banyak faedah bahkan
sebagian dari mereka menghitungnya sampai 70 faedah, diantaranya sebagai
berikut:
- Menambah kefasihan Lisan
- Menambah kecerdasan
- Mempertajam pandangan mata
- Mempermudah jalannya ruh ketika sekarat
- Membuat takut musuh
- Mendapatkan pahala yang banyak dengan menggunakannya
- Membuat awet muda pemakainya
- Mengharumkan bau mulut
- Menghilangkan kotoran serta kuningnya gigi
- Menguatkan gusi
- Membuat bundar muka
- Membuat rela Allah
- Memutihkan gigi
- Menyebabkan kekayaan dan kemudahan bagi yang memakainya
- Menghilangkan pusing kepala dan penyakit penyakit kepala
- Memperbaiki pencernaan serta menguatkannya
- Membersihkan hati
- Mengingatkan kita untuk mengucapkan dua kalimat syahadat ketika sekarat, dan masih banyak lagi faedah faedah yang disebutkan oleh ulama’ dalam kitab kuning mereka.
Adapun hukum bersiwak
pada asalnya adalah sunnah akan tetapi terkadang bisa menjadi wajib,
makruh bahkan haram dan lain-sebagainya. Sebagai mana hal itu dijelaskan
dibawah ini:
1. Wajib,
Yakni, terkadang bersiwak itu hukumnya wajib dalam tiga masalah dibawah ini:
- Yang pertama, jika tergantung kepada penggunaan siwak hilangnya suatu najis, misalnya jika dia makan sesuatu yang najis lalu sebagian makanan tersebut terselip diantara giginya dan tidak dapat hilang kecuali dengan menggunakan siwak maka hukumnya bersiwak saat itu adalah wajib.
- Yang kedua, jika dia seorang laki-laki yang berkewajiban melaksanakan sholat Jum’at, lalu dia sengaja memakan sesuatu yang menyebabkan mulutnya berbau, misalnya karena makan bawang mentah dan lain-lain, maka bau mulutnya tersebut harus dihilangkan sebelum berangkat untuk sholat Jum’at karena hal itu dapat menganggu orang yang duduk di sekitarnya. Dan jika tidak dapat hilang kecuali dengan menggunakan siwak maka hukumnya bersiwak saat itu hukumnya wajib, dan jika setelah bersiwak pun belum hilang juga maka hukumnya dapat diperinci sebagai berikut, jika dia memakannya dengan sengaja maka tetap dia wajib melaksanakan sholat Jum’at akan tetapi dia duduk paling belakang tidak berkumpul dengan orang, supaya tidak mengganggu orang-orang yang duduk disekitarnya. Adapun jika memakannya tidak disengaja misalnya karena dijamu oleh seseorang, maka tidak wajib atasnya sholat Jum’at akan tetapi tetap dirumahnya dan sebagai gantinya dia laksanakan sholat dzuhur di rumahnya.
- Yang ketiga, jika dia bernadzar untuk bersiwak ketika sholat, wudlu’ dan lain-lain, maka dia wajib laksanakan nadzarnya tersebut, maka dalam tiga hal tersebut hukumnya wajib bersiwak.
2. Sunnah,
Yakni,
sebagaimana diketahui bahwa asal hukum dari bersiwak adalah sunnah.
Jadi bersiwak dalam segala keadaan kapanpun hukumnya sunnah. Cuma dalam
beberapa keadaan menjadi lebih kuat kesunnahannya diantaranya pada
keadaan keadaan berikut ini:
- Ketika berwudlu’
- Ketika akan sholat
- Ketika sekarat
- Ketika akan membaca Al Quran
- Ketika akan membaca hadits Nabi SAW
- Ketika akan membaca kitab kitab ilmu agama
- Ketika bau mulut berubah
- Ketika akan memasuki rumah
- Ketika akan tidur
- Ketika bangun dari tidur.
3. Makruh,
Yaitu
bersiwak setelah masuknya waktu sholat Dzuhur pada saat kita sedang
berpuasa baik puasa wajib atau sunnah, karena hal itu akan menghilangkan
bau mulut orang yang sedang berpuasa, yang mana dalam agama dianjurkan
untuk tidak dihilangkan.
4. Khilaful aula,
Hukum
khilaful aula sama dengan hukum makruh akan tetapi lebih rendah dari
makruh, yaitu jika bersiwak menggunakan siwak orang lain dengan izinnya.
Itupun jika tanpa niat tabarruk, adapun jika dengan niat tabarruk maka
hukumnya sunnah.
5. Haram,
Yaitu
jika bersiwak menggunakan siwak orang lain tanpa seizin darinya dan
tidak yakin dia akan rela meminjamkannya jika dia mengetahuinya.
Derajat Alat yang Digunakan untuk Bersiwak
Menggunakan
alat apapun untuk bersiwak hukumnya sunnah baik dengan menggunakan kayu
arok (yang biasa dibawa oleh para haji dari tanah suci), sikat gigi,
dan lain-lain yang penting alat itu kasar dapat menghilangkan
kotoran-kotoran gigi dan kuning-kuningnya. Dan Asalkan dengan niat
mengikuti sunnah Rosul maka kita akan mendapatkan pahala dari bersiwak
itu. akan tetapi jika kita menggunakan kayu arok lebih sunnah dari segi
karena Nabi صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
menggunakannya ketika beliau bersiwak. Maka Lebih jelasnya lihatlah
derajat alat untuk digunakan sebagai siwak dari segi afdloliah (yang lebih utama) yaitu sebagai berikut:
1. Dengan kayu arok (yang terdapat di negara arab yang biasa dijadikan hadiah oleh para haji dari tanah suci),
2.
Dengan kayu yang diambil dari pelepah kurma yang tidak tumbuh daun
sekitarnya. Dan diriwayatkan bahwa Nabi صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ bersiwak terakhir kali sebelum beliau wafat
menggunakan kayu dari pelepah pohon kurma,
3. Dengan kayu pohon zaitun. Sebagimana sabda Nabi صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ:
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ I “نِعْمَ السِّوَاكُ الزَّيْتُوْن مِنْ شَجَرَةٍ
مُبَارَكَةٍ تُطَيِّبُ الْفَمَ وَتُذْهِبُ بِالْحُفر وَهُوَ سِوَاكِي
وَسِوَاكُ الأَنْبِيَاء مِنْ قَبْلِي (رواه الدارقطني
“Sebaik-baik
siwak adalah dari pohon zaitun dimana pohonnya membawa barokah dapat
mengharumkan bau mulut dan menghilangkan lubang gigi dan itu adalah
siwakku dan para siwak para Nabi sebelumku”. (Hadits Riwayat Imam Ad
Daruqutni)
4. Menggunakan siwak yang masih basah,
5. Menggunakan siwak yang kering.
Dan
setiap alat siwak tersebut diatas itu mempunyai 5 derajat lainnya dari
segi basah tidaknya siwak yang kita gunakan, yaitu sebagai berikut:
- Siwak yang dibasahi sebelumnya dengan menggunakan air.
- Siwak yang dibasahi sebelumnya dengan menggunakan air mawar.
- Siwak yang dibasahi sebelumnya dengan menggunakan air ludah.
- Siwak yang masih basah.
- Siwak yang kering tidak basah.
Maka
macam-macam siwak tersebut diatas yang paling afdlol digunakan dari
segi alat siwaknya mempunyai lima martabat lainnya dari segi basah dan
keringnya, misalnya kayu arok yang dibasahi dengan air lebih afdlol dari
kayu arok yang dibasahi dengan air mawar, dan kayu arok yang dibasahi
dengan air mawar lebih afdlol dari kayu arok yang dibasahi dengan air
ludah, dan kayu arok yang dibasahi dengan air ludah lebih baik dari kayu
arok yang masih basah, dan kayu arok yang masih basah lebih baik dari
kayu arok yang sudah kering, begitu pula siwak yang terbuat dari pelepah
kurma, atau kayu zaitun dan lain-lain mempunyai lima martabat dari segi
basah atau keringnya kayu kayu itu jadi jumlah keseluruhannya adalah
dua puluh lima martabat dalam menggunakan alat alat siwak tersebut.
Sedangkan
cara yang sunnah dalam memegang siwak adalah dengan cara menjadikan
jari kelingking dari tangan kanan di bawah ujung paling bawah dari siwak
tersebut, dan jari manis, jari tengah dan jari telunjuk diletakkan di
atasnya sedangkan ibu jarinya diletakkan di bawah ujung paling atas dari
siwak itu. Juga sunnah unttuk membaca niat bersiwak seperti berikut:
نَوَيْتُ التَّسْوِيْكَ لِلّٰهِ تَعَالٰى
“Saya niat bersiwak karena Allah Ta’ala”.
Dan
cara yang sunnah dalam memakainya adalah dengan menggunakan diantara
gigi dengan cara menggosokkan siwak itu melebar dari arah kanan ke kiri,
dimulai dari bagian giginya yang sebelah kanan lalu yang sebelah kiri
seperti angka delapan 8, jadi dimulai dari atas sebelah kanan kita
gosokkan sampai ke ujungnya kemudian kearah bawahnya dan kita gosokkan
kearah tengah, dan setelah sampai ditengah kita angkat lagi keatas dari
giginya yang sebelah kiri lalu kita gosokkan sampai di ujungnya setelah
itu kita arahkan ke bagian bawah digosokkan kearah tengah dan begitu
seterusnya, bukan dengan cara menggosokkan dari atas ke bawah karena hal
itu akan menyebabkan giginya akan berdarah.
Perlu
diperhatikan, sunnah hukumnya agar siwak yang dipakai tidak lebih dari
ukuran sekilan tangan manusia dan tidak kurang dari empat jari
panjangnya, sedangkan besar kecilnya disunnahkan untuk tidak lebih kecil
dari jari kelingking dan tidak lebih besar dari ibu jari. Begitu pula
disunnahkan untuk menelan air ludah yang bercampur dengan getah dari
kayu arok tatkala digunakan pertama kali akan tetapi tidak disunnahkan
untuk menghisap ujung siwak setelah menggunakannya. Dan juga sunnah
hukumnya membersihkan gigi dengan tusuk gigi sebelum dan sesudah
bersiwak, dan makruh hukumnya jika mencelupkan siwak tersebut ke dalam
air yang akan digunakan untuk wudlu’nya, begitu pula makruh hukumnya
menggunakan siwak tersebut dari dua sisi (atas dan bawah sama-sama
digunakan)
Ketika bersiwak maka sunnah hukumnya membaca doa saat memakai siwak seperti dibawah ini:
اَللَّهُمَّ
بَيِّضْ بِهِ أَسْنَانِيْ وَشُدَّ بِهِ لِثَّتِيْ وَثَبِّتْ بِهِ لَهَاتِي
وَأَفْصِحْ بِهِ لِسَانِيْ وَبَارِكْ لِيْ فِيْهِ وَأَثِبْنِيْ عَلَيْهِ
يَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
ALLAHUMMA
BAYYIDL BIHI ASNAANII WA;SYUDDA BIHI LITSTSATII WA;TSABBIT BIHI
LAHAATII WA;AFSHIH BIHI LISAANII WABAARIK LII FIIHI WA;ATSBITNII ‘ALAIHI
YAA ARHAMARROOHIMIIN
“Ya Allah
putihkan gigiku dan kuatkan gusiku, serta kuatkan lahatku (daging yang
tumbuh di atas langit-langit mulut) dan fasihkan lidahku dengan siwak
itu serta berkatilah siwak tersebut dan berilah pahala aku karenanya,
wahai Dzat paling mengasihi diantara para pengasih”.
Oleh: Al Habib Segaf Baharun, M.HI, Pengasuh Pondok Pesantren Darullughah Wadd’awah Putri, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur.
No comments:
Post a Comment